Sudah 14 hari kau koma dan hanya diam kaku terbaring di ranjang
kebesaran rumah sakit ini, tanpa ada sedikit pun obrolan walau aku
selalu ada di samping kirimu. Air mata ini tak berhenti menetes,
pertanyaan yang ku utarakan tak pernah kau gubris. Aku sedih, aku benci.
Mengapa tak menggubris? Apa salahku hingga kau hanya diam saja?
Lidahku terasa pahit tak sanggup merasa setiap makanan yang masuk ke
dalam mulut. Nasi dan tempe kesukaanmu bagai menumpang lewat ke dalam
setiap organ tubuhku untuk kemudian keluar kembali. Selang-selang pada
tubuhmu membuatku bingung. Mengapa harus berada disana? Bukankah itu
selang yang selalu kita pakai untuk menyiram lili kesukaanmu? Sudah 14
hari kita tak menyiram lili lagi. Selang itu membuatmu terperangkap dan
aku hanya bisa meratap. Ia menang atasmu untuk kali ini.
“Gie, kamu cinta nggak sama saya?”
“Kenapa kamu nanya gitu? Pastilah saya cinta sama kamu”
“Kenapa kamu bisa cinta sama saya?”
“Kenapa ya?”
“Ayo dong jawab. Masa kamu nggak tahu kenapa kamu bisa cinta sama saya?”
“Saya nggak bisa jelasin, tapi saya bener cinta sama kamu”
“Gimana saya mau percaya kalau kamu nggak jelasin alasannya?”
“Saya nggak tahu gimana ngejelasinnya. Yang pasti saya suka, saya sayang, saya cinta sama kamu”
“Bohong kamu. Andi aja bisa ngejelasin alasan kenapa dia bisa cinta sama
Sasi. Masa kamu nggak bisa sih Gie? Saya pengen tahu alasan kamu”
“Gimana kalau saya kasih bukti aja? Terlalu sulit buat saya ngungkapinnya lewat kata-kata”
“Nggak mau”
Aku selalu bingung dibuat oleh pertanyaanmu dan semakin bingung kala
kau tak mau kuberikan bukti. Pada akhirnya aku harus membohongimu.
Setiap alasan mengapa aku mencintaimu kupaparkan dengan jelas walau
hatiku tidak berkata sama. Kau cantik, suaramu merdu, senyummu menggoda,
sikapmu bijaksana dan peduli, dan setiap gerakanmu membuat aku suka.
Sungguh jawaban ini tak berasal dari hati kecilku, namun aku tahu setiap
wanita selalu tersenyum mendengar jawaban ini termasuk dirimu sayang.
Memang senyum itu terlukis di wajahmu, sayang itu hanya bertahan
sebentar. Mobil itu telah merampas semua milikmu. Kecantikanmu telah
musnah, warna merah mendominasi wajahmu yang dulunya putih merona.
Senyummu tak lagi bisa kulihat, bibirmu telah kaku dan tak bisa
bergerak. Suaramu juga tak bisa kudengar, kau hanya diam, diam, dan
diam. Tak ada satu pun kata yang keluar dari bibir merah jambumu. Kau
juga tak lagi terlihat bijaksana apalagi peduli. Saat air mata ini tak
mampu tertahan, kau tak berusaha untuk menghapusnya. Kau justru diam dan
menutup matamu.
Sekarang kau tak lagi memiliki hal-hal yang menjadi alasanku
mencintaimu. Jika sudah seperti ini, apa kau masih layak untuk kucintai?
Haruskah aku tetap mencintaimu di tengah ketidakberdayaan tubuhmu,
keburukan wajahmu, dan ketidakpedulianmu? Tidak mungkin aku mencintaimu
lagi, karena kau tak lagi sama seperti dahulu.
Kau selalu marah jika aku tak mampu mengungkapkan alasanku
mencintaimu, hingga akhirnya aku harus berbohong dan mengucapkan alasan
yang sama sekali tak ingin kuucapkan. Sejak dulu aku mencintaimu tanpa
alasan. Aku tak tahu mengapa aku menyukaimu dan mengapa akhirnya aku
mencintaimu. Namun sungguh aku mencintaimu. Detik ini dan untuk
selamanya aku tetap mencintaimu. Aku tak peduli bagaimana keadaanmu
sekarang, yang kutahu cinta tak membutuhkan alasan.